Jumat, 20 Juni 2008

Inilah Santri Kritis-Progresif

Judul : Santri Gugat
Penulis : Ridho Al-Hamdi
Kata Pengantar : Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan
Halaman : 284 + Cover
Penerbit: Interupsi Yogyakarta
Cetakan 1 : Mei 2008
Harga : Rp. 25.000,-



Selama ini santri hanya dipahami sebagai orang yang belajar tentang ilmu-ilmu agama di sebuah lembaga bernama pondok pesantren. Terkadang gelar santri diperuntukkan bagi orang-orang shaleh saja. Terkadang, santri sering dikaitkan sebagai orang yang kerap bersarung, memakai peci atau kopiah, terkadang menggunakan sorban, dan terbiasa membawa tasbih serta kitab kuning.

Kini, di dalam buku ini penulis ingin menghadirkan juga sosok santri sebagai orang yang memiliki kepekaan sosial, kritis terhadap kebijakan dan sistem yang berlaku, serta berani melawan ketidakadilan dalam segala aspek. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan realitas yang dihadapi oleh agama dan manusia telah mengalami perubahan. Masyarakat kita sudah mulai menghadapi berbagai bentuk kedzaliman yang telah dilakukan oleh dunia global.

Banyak kasus yang seharusnya santri turut andil di dalamnya. Misal kasus pemerkosaan dan pencabulan, kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) terkait dengan tidak diberikannya hak dan wewenang serta kekerasan yang dilakukan oleh majikan, persoalan korupsi yang telah menjadi kebiasaan para pejabat, serta kaum mustadz’afien yang tetap tertindas. Mungkin ada pertanyaan, lho itu kan sudah menjadi tugas pemerintah? Apalagi sekarang ada Komisi Pemberantas Korupsi, Komisi Yudisial, dan semacamnya. Secara kelembagaan mereka memang berwenang untuk menyelesaikan ”misi suci” tersebut. Tetapi pada kenyataannya, tidak membuahkan hasil yang cukup memuaskan semua pihak, terutama rakyat. Karena itu, santri sebagai kaum yang mewakili wong cilik harus mengambil alih ”misi suci” tersebut.

Ketika dulu santri hanya memahami teori-teori, kini saatnya teori-teori yang ada di dalam teks itu diterapkan pada realitas sekarang. Realitas yang harus ditantang adalah segala bentuk ketidakadilan terutama yang menyingkirkan kaum tertindas. Tentunya, yang menjadi ciri khas santri tidak lagi sarung maupun kopiah, tetapi kritis dan peka terhadap kondisi yang ada, intelektualitas yang tinggi, keberanian melawan sistem tidak adil, serta mampu menyusun strategi yang tepat untuk melawan para penindas. Demikian itu yang disebut sebagai ”santri baru”.

Buku ini ditulis dengan gaya catatan atau lebih tepatnya storytelling dengan tujuan, mempermudah pembaca dalam menikmati setiap kalimat demi kalimat, kemudian mengalir menjadi paragraf, dan akhirnya bisa dipahami secara keseluruhan. Beberapa tulisan didukung data berupa referensi kepustakaan, hasil penyebaran angket, dan wawancara. Tokoh yang bermain di buku ini adalah seorang “Aku”. Aku yang diposisikan sebagai santri. Hematnya, jika seseorang sedang membaca buku ini seolah-olah tokoh itu adalah dirinya. Mungkin asumsi yang dibangun penulis terhadap citra sebuah catatan berbeda dengan catatan harian Anne Frank, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahib yang memang tulisan mereka murni selama perjalanan hidupnya.

Ridho Al-Hamdi

Penulis Buku “Santri Gugat”

Tidak ada komentar: